Neuromodulasi, Harapan Baru Penderita Stroke?

Kemajuan pengobatan dan teknologi memungkinkan angka kecacatan dan kematian akibat stroke semakin menurun pada negara-negara maju. Akan tetapi di Indonesia, sumber daya yang terbatas sering kali menyebabkan pasien stroke tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Sebagian besar penderita stroke akan mengalami kecacatan jangka panjang sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

Pendekatan yang digunakan untuk mengembalikan fungsi tubuh yang rusak adalah dengan melakukan rehabilitasi. Rehabilitasi pasca stroke terdiri dari terapi fisik, bicara dan okupasi. Sayangnya, hanya sebagian kecil penderita stroke yang dapat pulih sempurna walaupun dengan berbagai strategi terbaik saat ini.

Baca Juga : Waspada Stroke Ringan, Jika Disepelekan Berakibat Fatal

Ada kebutuhan besar akan strategi terapi baru untuk membantu pasien pulih dari stroke, Salah satu bidang ilmu yang sedang berkembang pesat saat ini adalah neuromodulasi. Beberapa penelitian besar dilakukan dan memberikan harapan yang menjanjikan mengenai terapi neuromodulasi untuk membantu rehabilitasi penderita stroke.

Spastisitas adalah aktivitas otot yang berlebihan yang terjadi ketika komunikasi antara otak dan sumsum tulang belakang terganggu akibat stroke atau penyakit tulang belakang lainnya. Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah functional electrical stimulation (FES), yang memberikan kejutan pada otot Anda yang terkena, mengaktifkan saraf dan membuat otot bergerak.

Terapi lainnya yang banyak mendapat perhatian adalah neuromodulasi pada otak. Selama pemulihan stroke, otak melakukan reorganisasi dalam suatu proses yang dikenal sebagai plastisitas otak. Beberapa jaringan otak yang rusak dapat pulih atau area yang tidak rusak dapat dilatih untuk mengambil alih beberapa fungsi jaringan yang rusak.

Menerapkan neuromodulasi saat pasien menjalani terapi fisik atau bicara dapat meningkatkan plastisitas dan memfasilitasi pemulihan. Dua pendekatan neuromodulasi yang tersedia adalah transcranial magnetic stimulation (TMS) dan transcranial direct current stimulation (tDCS). Kedua metode ini bersifat non-invasif dan tidak memerlukan pembedahan.

Pada TMS, sebuah kumparan diposisikan di atas kepala pasien. Gelombang stimulasi magnetik diberikan pada kepala, pasien diminta untuk istirahat atau mengerjakan suatu tugas. Gelombang magnetik ini diberikan pada sisi otak yang terkena stroke, atau pada sisi yang berlawanan.

Baca Juga : Bagaimana Menangani Spastisitas Pasca Stroke

Prinsip tDCS menggunakan stimulasi medan listrik kecil, berbeda dengan TMS. Stiker khusus ditempelkan ke kepala dan dihubungkan ke sumber listrik yang menciptakan medan listrik kecil. Pasien yang menggunakan tDCS dapat beraktivitas seperti biasa dan dapat menggunakan stimulasi untuk waktu yang lama (yaitu berminggu-minggu). Stimulasi dapat terus diberikan dan pasien membawa pulang perangkat atau menjalani terapi fisik rawat jalan.

Deep brain stimulation (DBS), sering disebut sebagai alat pacu otak. DBS terdiri dari alat yang ditanamkan di dalam otak, terhubung ke perangkat di dada yang bertugas mengirimkan sinyal listrik ke area otak yang telah ditanamkan dengan kabel. DBS saat ini banyak digunakan untuk mengurangi gejala-gejala gangguan gerak pada stroke ataupun akibat penyakit lainnya

Yang terakhir, metode minimal invasif lain yang banyak dikembangkan adalah peripheral nerve stimulation (PNS). Beberapa peneliti menggunakan metode ini untuk mengelola nyeri tungkai pasca stroke dengan memodifikasi persepsi nyeri kronis. PNS menerapkan arus listrik ringan melalui kontak listrik yang ditempatkan di bawah kulit, merangsang saraf perifer tertentu yang terletak di luar otak dan tulang belakang.

Terakhir diperbaharui : 1 Juli 2021

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here